Gelombang protes yang meletup sejak 25 Agustus 2025 kini berubah menjadi badai amarah rakyat. Bukan hanya jalanan yang penuh dengan teriakan massa, tetapi juga rumah-rumah para pejabat yang menjadi sasaran kemarahan. Satu demi satu kediaman wakil rakyat dan menteri tak lagi menjadi simbol kehormatan, melainkan simbol jarak antara kekuasaan dan rakyat yang muak.
Dari Tanjung Priok hingga Bintaro: Jejak Penjarahan
Rumah pertama yang jadi korban adalah kediaman Ahmad Sahroni, anggota DPR dari NasDem, di kawasan Tanjung Priok. Sore itu, 30 Agustus, kediamannya disapu massa. Lemari, kursi, brankas berisi uang, hingga koleksi patung Iron Man raib. Mobil-mobil mewahnya pun tak luput dari amukan.
Tak berhenti di sana, malam harinya giliran rumah Eko Patrio, komedian sekaligus anggota DPR PAN, di Kuningan, Jakarta Selatan. Benda-benda pribadi hingga kucing anggora peliharaannya ikut terbawa. Bersamaan, kediaman Uya Kuya di Jakarta Timur mengalami nasib serupa—perabotan diangkut, kucing kesayangannya diambil massa.
Menjelang dini hari, 31 Agustus, kawasan Bintaro, Tangerang Selatan mendadak jadi lautan massa. Rumah Nafa Urbach, artis yang kini duduk di DPR, dijarah. Pakaian desainer, kulkas, hingga televisi hilang begitu saja. Hanya berselang jam, kediaman Menteri Keuangan Sri Mulyani di Sektor 3A Bintaro juga tak luput. Dua gelombang massa merangsek masuk, menguras barang elektronik, perhiasan, perabotan, hingga ring basket.
Puan Maharani: Dikepung, Tapi Tak Dijarah
Ketua DPR Puan Maharani pun tak lepas dari sasaran. Massa mendatangi rumahnya di Menteng, Jakarta Pusat, tengah malam itu. Meski tidak ada laporan penjarahan barang, aksi ini menunjukkan satu hal: bahkan orang paling berkuasa di parlemen pun tak bisa tidur nyenyak.
Simbol Retaknya Kepercayaan
Deretan penjarahan ini lebih dari sekadar tindak kriminal. Ia adalah pesan telanjang dari rakyat yang kehilangan kesabaran. Rumah-rumah pejabat yang biasanya berdiri megah, kini menjadi saksi amarah: dinding yang retak, kaca yang pecah, dan barang-barang yang berserakan menjadi metafora runtuhnya kepercayaan.
Pertanyaan besar pun menyeruak: apakah para penguasa masih bisa menutup mata, ataukah mereka akan mulai membuka telinga terhadap suara rakyat yang sudah terlalu lama diabaikan?

0 Komentar
Setiap kata dari anda adalah motivasi bagi blog ini untuk menjadi lebih baik.