Beberapa pekan terakhir, jagat maya Indonesia ramai membicarakan istilah 17+8 Tuntutan Rakyat. Bukan sekadar angka, melainkan sebuah simbol perlawanan baru yang menggabungkan momentum 17 Agustus dengan 8 desakan besar reformasi.

Gerakan ini muncul sebagai respons atas berbagai peristiwa kontroversial: mulai dari kekerasan aparat dalam demo, kebijakan DPR yang dianggap tidak pro-rakyat, hingga isu transparansi anggaran dan lemahnya penegakan hukum terhadap koruptor.

Dengan cepat, gerakan ini menyebar di media sosial berkat dukungan tokoh publik, aktivis, mahasiswa, hingga masyarakat sipil. Uniknya, kampanye ini identik dengan warna pink dan hijau sebuah simbol solidaritas yang terinspirasi dari kerudung seorang ibu yang viral saat aksi demo.


17 Tuntutan Jangka Pendek (Tenggat: 5 September 2025)


Berikut daftar lengkap 17 tuntutan mendesak yang menjadi fokus utama:

1. Tarik TNI dari pengamanan sipil, kembalikan  fungsi sesuai konstitusi.


2. Bentuk tim investigasi independen untuk kasus Affan Kurniawan dan korban kekerasan selama demo 28–30 Agustus.


3. Bebaskan mahasiswa dan demonstran yang masih ditahan.


4. Hentikan kekerasan aparat dan tindak tegas pelaku pelanggaran HAM.


5. Transparansi penanganan kasus oleh Polri, termasuk nama petugas yang melanggar.


6. Bekukan kenaikan gaji dan tunjangan DPR, batalkan fasilitas baru yang mewah.


7. Publikasikan transparansi anggaran DPR secara terbuka.


8. Partai politik pecat kader tidak etis yang merugikan rakyat.


9. Anggota DPR diwajibkan turun ke daerah pemilihan untuk dialog terbuka dengan rakyat.


10. Tegakkan disiplin agar TNI tidak mengambil alih fungsi Polri.


11. Evaluasi kinerja DPR dalam merespons aspirasi rakyat.


12. Stop penggunaan kekerasan terhadap pers saat meliput aksi.


13. Jamin kebebasan berpendapat tanpa ancaman kriminalisasi.


14. Percepat penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu.


15. Tolak revisi undang-undang yang melemahkan demokrasi dan kebebasan sipil.


16. Hentikan praktik politik uang dan segala bentuk transaksi gelap di DPR.


17. Segera lakukan audit independen fasilitas DPR, termasuk gedung dan aset yang membebani APBN.



8 Tuntutan Jangka Panjang (Tenggat: 31 Agustus 2026)


Selain tuntutan mendesak, ada juga agenda jangka panjang yang lebih bersifat reformasi struktural:


1. Reformasi DPR total: audit independen, penghapusan hak istimewa seperti pensiun seumur hidup, dan transparansi penuh.


2. Reformasi partai politik: transparansi keuangan, kaderisasi sehat, dan penguatan oposisi.


3. Reformasi sistem perpajakan: sistem lebih adil, pembatalan pajak memberatkan rakyat kecil.


4. Sahkan UU Perampasan Aset Koruptor untuk menutup celah korupsi besar.


5. Perkuat KPK agar kembali independen dan tak bisa dilemahkan oleh kepentingan politik.


6. Reformasi struktural Polri: orientasi humanis, transparan, dan profesional.


7. Kembalikan TNI ke barak sepenuhnya, tanpa keterlibatan dalam proyek sipil.


8. Perkuat Komnas HAM dan lembaga independen untuk menjamin perlindungan hak warga negara.



Mengapa Viral?


Gerakan ini cepat meluas karena beberapa alasan:

Disusun cepat dan kolektif: hanya butuh sekitar tiga jam, dirumuskan oleh aktivis, mahasiswa, hingga tokoh publik seperti Jerome Polin, Andovi da Lopez, hingga Salsa Erwina.

Didukung 211 organisasi masyarakat sipil seperti YLBHI, serikat buruh, kelompok advokasi hukum, hingga komunitas mahasiswa.

Simbol visual yang kuat: warna pink dan hijau menjadikannya mudah dikenali di media sosial.

Momentum yang tepat: muncul setelah kemarahan publik atas insiden demo berdarah pada akhir Agustus 2025.


Harapan atau Sekadar Tren?


Kini, publik menunggu apakah pemerintah, DPR, dan partai politik berani menindaklanjuti tuntutan ini. Tenggat waktu yang jelas membuat rakyat bisa menagih secara konkret, bukan hanya menunggu janji manis.

Namun, tak sedikit pula yang skeptis: akankah 17+8 Tuntutan Rakyat benar-benar membuka pintu perubahan, atau justru akan dilupakan seperti gerakan-gerakan sebelumnya?

Apapun hasilnya, satu hal yang tak terbantahkan: gerakan ini telah menghidupkan kembali suara rakyat, menunjukkan bahwa demokrasi bukan hanya milik elite, melainkan milik seluruh warga bangsa.