Nama Ahmad Sahroni kembali jadi sorotan. Bukan hanya karena rumahnya di Tanjung Priok menjadi sasaran penjarahan, atau karena pernyataannya yang memicu kontroversi hingga membuatnya dinonaktifkan dari DPR, tetapi juga karena perjalanan hidupnya yang penuh liku dan kontras.


Di mata publik, Sahroni dikenal sebagai sosok flamboyan—“Crazy Rich Tanjung Priok”—yang gemar memamerkan koleksi mobil mewah, motor besar, hingga gaya hidup kelas atas. Namun di balik kemewahan itu, ia sesungguhnya berasal dari latar belakang yang sangat sederhana: seorang anak kampung pesisir yang tumbuh di lingkungan keras.


Dari Tukang Parkir hingga Politikus Nasional

Sahroni memulai hidupnya sebagai tukang parkir, sopir, hingga pekerja kasar. Tidak ada yang menyangka ia bisa menembus lingkaran elit bisnis, lalu melesat ke panggung politik. Kisah hidupnya sering dipakai sebagai contoh “mimpi orang kecil yang berhasil tembus ke atas.”

Namun, posisi tinggi sering kali datang bersama sorotan tajam. Saat ia menjadi Wakil Ketua Komisi III DPR, publik mulai menilai setiap ucapan dan tindakannya. Dan puncaknya terjadi ketika pernyataannya soal “orang tolol” yang ingin membubarkan DPR viral dan menimbulkan gelombang reaksi negatif.


Rumah Dijarah, Nama Dicoret

Tragedi bertubi-tubi menimpa Sahroni. Rumahnya di Tanjung Priok dijarah massa dalam kerusuhan. Sementara itu, NasDem—partai yang membawanya ke Senayan—memutuskan menonaktifkannya sebagai anggota DPR mulai 1 September 2025.

Banyak yang melihat ini sebagai “jatuhnya bintang”, tapi ada pula yang menilai ini hanyalah fase dalam perjalanan politiknya.


Di Balik Kontroversi: Manusia yang Rapuh

Jarang dibahas media, Ahmad Sahroni sejatinya kerap menunjukkan sisi emosional. Dalam beberapa wawancara, ia pernah menyebut dirinya masih merasa seperti “anak kampung” meskipun kini sudah hidup bergelimang harta.

Ketika rumahnya dijarah, ia mengaku terpukul, bukan hanya karena kerugian materi, tapi juga karena itu adalah tempat yang penuh kenangan masa kecil.


Apa yang Bisa Dipelajari dari Kisah Sahroni?

1. Kekuasaan itu rapuh – Hari ini berada di puncak, besok bisa saja jatuh karena ucapan atau tindakan yang salah langkah.

2. Kekayaan bukan perisai – Meski dikenal crazy rich, Sahroni tetap tak kebal dari musibah sosial-politik.

3. Manusia tetap manusia – Terlepas dari kontroversi, Sahroni masih seorang ayah, suami, dan warga biasa yang menghadapi ketidakpastian hidup.


Penutup

Perjalanan Ahmad Sahroni adalah potret nyata bahwa dunia politik Indonesia bukan sekadar soal kekuasaan, tapi juga drama manusiawi: perjuangan, ambisi, kontroversi, hingga kehilangan.

Apakah ia akan bangkit lagi setelah badai ini? Atau justru memilih mundur dan kembali fokus pada dunia bisnis? Waktu yang akan menjawab.

Satu hal yang pasti: kisah Ahmad Sahroni selalu menyimpan daya tarik, karena ia adalah cermin dari realitas—bahwa siapapun, dari pesisir miskin hingga gedung parlemen, bisa menjadi pusat perhatian bangsa.