Hari itu, Jakarta tak sekadar dipenuhi klakson kendaraan dan hiruk pikuk rutinitas. Ibukota mendadak berubah menjadi panggung besar tempat ribuan suara bertemu, beradu, dan kadang pecah dalam kericuhan. Apa yang bermula dari seruan sederhana di layar-layar ponsel, menjelma jadi gelombang massa yang mengguncang gedung parlemen.
Dari Viral ke Nyata
“Turun ke jalan! Kita tunjukkan suara rakyat!”
Seruan itu pertama kali muncul di jagat media sosial—X, TikTok, Instagram—dengan cepat menjalar tanpa komando pusat. Tak ada mobil komando, tak ada seragam organisasi. Hanya tagar, unggahan video, dan obrolan grup kecil yang saling beresonansi.
Bagi banyak orang, ini bukan sekadar demo. Ini adalah catharsis, ledakan dari akumulasi rasa jengah: kebijakan yang dianggap menyakiti rakyat, isu korupsi yang tak pernah padam, hingga tunjangan fantastis para wakil rakyat yang mengiris hati publik.
Wajah-wajah di Jalan
Berbeda dari demonstrasi klasik, kali ini wajah yang tampil di garis depan beragam. Ada pelajar berseragam abu-abu yang masih membawa tas sekolah, pengemudi ojek online yang menepikan motor demi ikut teriak, influencer yang biasanya hanya tampil di layar kini bercampur di tengah massa.
Seorang mahasiswa yang enggan menyebut nama, berkata dengan suara serak akibat gas air mata:
> “Kami datang tanpa pemimpin, tanpa agenda politik tersembunyi. Kami hanya muak. Itu saja.”
Benturan Tak Terelakkan
Sekitar pukul 11 siang, Jalan Gatot Subroto berubah jadi lautan manusia. Pagar DPR yang dilumuri oli hitam berkilat seakan simbol jarak antara rakyat dan wakilnya. Botol, batu, dan teriakan memenuhi udara. Polisi yang berjaga merespons dengan water cannon dan gas air mata.
Benturan pun tak terelakkan. Dari gedung DPR hingga simpang Slipi, suasana seperti tarikan karet yang diregangkan terlalu kencang—pada akhirnya putus juga.
Transportasi Lumpuh, Kota Berhenti
Kereta berhenti beroperasi, TransJakarta tertahan, jalan tol ditutup. Orang-orang yang awalnya hanya ingin pulang kerja ikut terjebak dalam arus keramaian. Jakarta seakan belajar satu hal: bila rakyat bergerak, maka roda kota ikut macet.
Bukan Akhir, Hanya Awal
Menjelang malam, asap tipis masih menggantung di langit sekitar DPR. Sebagian orang pulang dengan mata perih dan tubuh lelah, sebagian lagi masih bersuara. Tak ada yang tahu apakah tuntutan mereka akan benar-benar didengar.
Tapi satu hal jelas: hari itu menjadi bukti bahwa di era digital, jarak antara dunia maya dan dunia nyata hanyalah selembar layar tipis. Dan ketika layar itu retak, suara-suara bisa tumpah ke jalan, mengguncang pusat kekuasaan.
Penutup
Demo 25 Agustus 2025 bukan sekadar catatan ricuh di depan DPR. Ia adalah potret generasi yang tak lagi sabar menunggu perubahan datang dari atas. Generasi yang tumbuh bersama algoritma, tapi memilih turun ke jalan dengan suara lantang: “Kami ada, kami menuntut, dengarkan kami.”
0 Komentar
Setiap kata dari anda adalah motivasi bagi blog ini untuk menjadi lebih baik.