Di kelas 1A pagi itu, suasana tampak ceria. Bu Guru baru saja masuk dengan senyum ramah sambil membawa beberapa buku pelajaran. Hari ini, beliau sudah menyiapkan materi berhitung untuk murid-muridnya.
“Anak-anak, hari ini kita belajar menghitung. Siapa yang sudah bisa berhitung?” tanya Bu Guru sambil melirik ke seluruh kelas.
Beberapa anak saling pandang, sebagian menunduk malu. Tiba-tiba, seorang anak laki-laki yang duduk di bangku depan, Noel namanya, mengangkat tangan tinggi-tinggi.
“Saya bisa, Bu!” katanya penuh semangat.
Bu Guru tersenyum, “Wah, hebat sekali Noel. Benar kamu sudah bisa berhitung?”
“Bisa, Bu. Ayah saya yang mengajari di rumah,” jawab Noel dengan bangga.
“Kalau begitu, ayo kita coba. Setelah angka tiga, berapa?”
“Empat, Bu,” jawab Noel dengan mantap.
“Bagus. Kalau setelah enam?”
“Tujuh.”
“Bagus sekali. Kalau setelah sembilan?”
“Sepuluh, Bu Guru!” katanya cepat, membuat beberapa teman sekelasnya terkikik.
Bu Guru makin kagum. “Hebat! Rupanya ayahmu pintar sekali mengajar. Nah, sekarang coba… setelah sepuluh, angka berapa ya?”
Noel tersenyum lebar, dengan wajah penuh keyakinan ia menjawab lantang,
“Setelah sepuluh… Jack, Queen, King, lalu AS!”
Seluruh kelas langsung tertawa riuh. Bahkan Bu Guru pun tak bisa menahan senyum. Rupanya ayah Noel bukan hanya mengajari angka, tapi juga mengenalkan kartu remi!
Bu Guru kemudian berkata sambil tersenyum, “Noel, di kelas kita berhitungnya pakai angka ya, bukan pakai kartu. Tapi tidak apa-apa, yang penting kamu sudah semangat belajar. Nanti kita pelajari bersama-sama urutan angka sampai dua puluh.”
Seisi kelas kembali tertawa kecil, dan Noel pun ikut tersipu sambil menggaruk kepalanya. Hari itu, pelajaran berhitung jadi penuh tawa dan ceria.
0 Komentar
Setiap kata dari anda adalah motivasi bagi blog ini untuk menjadi lebih baik.